Namanya adalah ar-Rabi’ bin Ziad al-Haritsy, gubernur Khurasan,
penakluk Sajistan dan komandan yang gagah berani sedang bergerak
memimpin pasukannya berperang di jalan Allah bersama budaknya yang
pemberani, Farrukh.
Setelah Allah memuliakannya dengan penaklukan Sajistan dan belahan
bumi lainnya, dia bertekad untuk menutup kehidupannya yang semarak
dengan menyeberangi sungai Sihun (sebuah sungai besar yang terletak
setelah Samarkand, perbatasan Turkistan) dan mengangkat bendera tauhid
di atas puncak bumi yang disebut dengan Negeri Di Balik Sungai itu.
Ar-Rabi’ bin Ziad menyiapkan peralatan
dan bekalnya untuk peperangan yang sebentar lagi akan terjadi. Dan dia
telah menetapkan waktu dan tempat untuk menghadapi musuhnya.
Dan ketika peperangan telah berkobar, ar-Rabi’ dan pasukannya yang
gagah berani melancarkan serangan yang hingga kini masih
didokumentasikan oleh sejarah dengan penuh sanjungan dan penghormatan.
Sementara budaknya, Farrukh telah menampakkan kegagahan dan
keberaniannya di medan laga sehingga membuat ar-Rabi’ tambah kagum,
hormat dan menghargai keistimewaannya itu.
Peperangan berakhir dengan kemenangan yang gemilang bagi kaum
muslimin. Mereka telah mampu menggoncang musuh, mencerai-beraikan dan
mengkocar-kacirkan pasukannya.
Kemudian mereka menyebrangi sungai yang menghalangi mereka untuk
menuju ke arah negeri Turki dan menahan laju mereka ke arah negeri Cina
dan kerajaan Shughd.
Ketika Panglima besar ini telah berhasil menyeberangi sungai dan
telah kedua kakinya telah menapak ke tanah pinggirannya, dia dan
pasukannya segera berwudhu dengan air sungai dengan sebaik-baiknya.
Lalu mereka menghadap kiblat dan melakukan shalat dua raka’at sebagai
ungkapan rasa syukur kepada Allah, Penganugerah kemenangan.
Setelah itu, dia membalas jasa budaknya, Farrukh dengan
memerdekakannya, memberinya bagian ghanimah yang sangat banyak, ditambah
harta pribadinya yang cukup banyak pula.
Kehidupan setelah hari yang cemerlang dan terang itu tidaklah berlangsung lama bagi ar-Rabi’ bin Ziad al-Haritsy.
Ajal pun menjemputnya setelah dua tahun dari tercapai impiannya yang
besar itu, untuk pergi menyongsong Rabbnya dengan penuh ridha dan
diridhai.
Sedangkan anak muda nan gagah lagi pemberani, Farrukh, kembali ke
Madinah al-Munawwarah dengan membawa bagian ghanimahnya yang banyak dan
pemberian berharga yang diberikan oleh panglima besarnya.
Dan di atas semua itu, dia membawa kemerdekaan yang begitu mahal
harganya dan kenangan indah bersama ukiran kepahlawanan yang dimahkotai
oleh debu-debu peperangan.
Ketika menginjakkan kaki ke kota Rasulullah, Farrukh merupakan
seorang pemuda yang sempurna, energik dan penuh semangat ksatria dan
kepandaian berkuda. Ketika itu, usianya sudah menganjak 30-an tahun.
Farrukh telah berniat untuk membangun rumah tempat berteduh dan memiliki seorang isteri tempat tambatan hatinya.
Lalu dia membeli sebuah rumah tipe menengah di Madinah dan memilih
seorang wanita yang cerdas otaknya, sempurna akhlaknya, baik agamanya
dan seumur dengannya, lalu dinikahinyalah wanita itu.
Farrukh merasa nyaman dengan rumah yang dikaruniakan Allah kepadanya.
Didampingi oleh sang isteri, dia juga mendapatkan rizki yang memadai,
perlakuan yang demikian baik dan kehidupan yang cemerlang melebihi apa
yang sebelumnya pernah diharapkan dan dicita-citakannya.
Akan tetapi rumah yang mewah beserta kelebihannya dan istri yang
shalehah dengan segala yang dikaruniakan Allah kepadanya; sifat yang
baik dan prilaku yang agung, tidaklah mampu untuk membendung hasrat sang
ksatria Mukmin ini untuk kembali terjun ke medan laga, kerinduan untuk
mendengar suara gemerincing pedang saling bersabetan dan kegandrungannya
untuk kembali berjihad di jalan Allah.
Setiap kali terdengar berita kemenangan pasukan muslim yang berperang
di jalan Allah di Madinah, semakin menyalalah kerinduannya untuk
berjihad dan semakin menggebulah hatinya keinginannya mendapatkan
kesyahidan.
Suatu kala di hari jum’at, Farrukh mendengar khathib masjid Nabawi
mengabarkan berita gembira perihal kemenangan pasukan muslim di berbagai
medan peperangan, mengajak jema’ah untuk berjihad di jalan Allah dan
menganjurkan untuk mencari kesyahidan demi meninggikan agama-Nya dan
mengharap keridhaan-Nya,.
Maka pulanglah Farrukh ke rumahnya sementara dia telah memasang tekad
bulat untuk bergabung di bawah bendera kaum muslimin yang bertebaran di
bawah setiap komando. Dia menyampaikan niatnya tersebut kepada sang
isteri.
Maka sang istri menjawab,“Wahai Abu Abdirrahman, kepada siapa engkau
titipkan diriku dan jabang bayi yang sedang aku kandung ini?! Sebab di
Madinah ini adalah orang asing yang tidak mempunyai keluarga dan sanak
saudara.”
Lalu Farukh berkata,“Aku titipkan kamu kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya aku telah meninggalkan untukmu 30.000 dinar yang aku
kumpulkan dari ghanimah perang; jagalah dan investasikanlah harta itu.
Belanjakanlah untuk dirimu dan anakmu darinya dengan baik hingga aku
pulang dengan selamat dan membawa ghanimah atau Allah karuniakan
kepadaku kesyahidan yang aku cita-citakan.”
Kemudian dia berpamitan dengannya dan pergi menuju tujuannya.
Istri yang cerdas otaknya ini kemudian melahirkan bayinya setelah
beberapa bulan dari kepergian sang suami.Begitu pula, dia banyak
menghafal hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, pandai
memamerkan ungkapan Arab yang indah dan mengetahui masalah-masalah agama
yang esensial.
Untuk kebutuhan itu, Ummu Rabi’ah sudah banyak mengeluarkan ‘kocek’
buat para guru dan pendidik akhalq sang anak, demikian juga memberi
hadiah-hadiah kepada mereka. Setiap dia melihat peningkatan ilmu sang
anak, dia menambah uang buat mereka sebagai bentuk kepeduliaan dan
penghormatan.
Di samping hal itu, rupanya dia juga selalu menanti-nanti kepulangan
sang suami yang raib dan sudah berupaya untuk hanya menjadikannya
sebagai belahan hatinya dan anaknya.
Akan tetapi sang suami, Farrukh telah lama menghilang sementara
berita tentangnya masih simpang-siur; ada yang mengatakan dia ditawan
musuh. Ada yang mengatakan bahwa ia meneruskan jihad. Sementara ada
sekelompok orang lainnya yang sudah pulang dari medan jihad bahwa ia
telah meraih kesyahidan yang diimpi-impikannya.
Bagi Ummu Rabi’ah pendapat terakhir ini lebih kuat karena sudah
terputusnya berita tentangnya. Karena itu, diapun sedih sesedih-sedihnya
yang membuat hatinya merana, lantas menyerahkan semua itu kepada Allah
Ta’ala semoga dibalas pahala atas kesabarannya.
Ketika itu, Rabi’ah sudah beranjak remaja dan hampir masuk usia pemuda.
Para pemberi nasehat berkata kepada ibundanya,“Ini si Rabi’ah sudah
menyelesaikan baca-tulis yang sudah semestinya diselesaikan untuk orang
seusianya. Bahkan dia unggul atas teman-teman seumurnya; dia hafal
al-Qur’an dan juga meriwayatkan hadits. Andaikata engkau pilihkan suatu
pekerjaan yang dapat menghasilkan kebaikan buatnya, pasti dengan begitu
cepat dia bisa menekuninya dan lantas dapat menafkahimu dan dirinya.”
Ibu Rabi’ah menjawab, “Aku memohon kepada Allah agar Dia memilihkan untuknya hal terbaik bagi kehidupan dan akhiratnya…”
Sesungguhnya Rabi’ah telah memilih ilmu untuk dirinya dan bertekad
bulat untuk hidup sebagai penuntut ilmu dan pengajar selama hayat
dikandung badan.
Rabi’ah terus berlalu sesuai jalan yang telah digariskannya untuk
dirinya tanpa menunda-nunda dan berbuat teledor, menyongsong
halaqah-halaqah ilmu yang demikian sesak di masjid Madinah sebagaimana
layaknya seorang yang dahaga yang menuju sumbe air nan lezat.
Dia berguru dengan para shahabat yang masih tersisa, terutama Anas bin Malik, khadim Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Dia juga berguru dengan kontingen pertama dari generasi Tabi’in,
terutama Sa’id bin al-Musayyib, Mak-hul asy-Syamy dan Salamah bin Dinar.
Dia terus berjerih payah pada malam hari dan siang harinya hingga betul-betul kelelahan.
Kita pernah mendengar para gurunya berkata, “Sesungguhnya ilmu itu
tidak akan memberimu separoh dirinya kecuali bila kamu telah memberinya
seluruh ragamu.”
Tidak berapa lama berlalu, namanya kemudian menjadi bergema, bintangnya telah berkibar dan saudara-saudaranya semakin banyak.
Para murid-muridnya amat menggandrunginya dan kaumnya telah menjadikannya sebagai pemuka mereka.
Kehidupan ulama Madinah ini berjalan damai dan tentram; separoh
harinya dia berada di rumah bersama keluarga dan saudara-saudaranya.
Separoh lagi dia gunakan di masjid Rasululullah guna menimba ilmu dari
majlis-majlis dan halaqahnya.
Kehidupannya berjalan samar-samar hingga terjadilah sesuatu yang tidak pernah disangka-sangka
Pada suatu malam saat bulan purnama di musim panas, seorang pejuang
yang sudah berumur sekitar enam puluh tahun-an baru sampai di Madinah.
Orang itu berjalan memasuki gang-gangnya dengan berkuda menuju
rumahnya. Dia tidak tahu, apakah rumahnya masih berdiri seperti sedia
kala atau sudah terjadi perubahan seiring dengan perjalanan waktu.
Sudah lama ia tingglkan, yaitu selama tiga puluh tahun atau sekitar itu.
Dia bertanya-tanya dalam hati tentang isterinya yang masih muda, yang
dia tinggalkan di rumah itu; apa yang telah dia lakukan? Dan tentang
jabang bayi yang dikandungnya; apakah anak laki-laki atau perempuan yang
lahir? Apakah dia hidup atau mati? Dan jika hidup, bagaimana
keadaannya?
Dia juga bertanya-tanya tentang uang banyak yang dia kumpulkan dari
beberapa ghanimah jihad, yang dia titipkan padanya ketika akan berangkat
berperang di jalan Allah bersama tentara kaum muslimin yang bergerak
untuk menaklukkan negeri Bukhara, Samarkand dan sekitarnya.
Waktu itu, gang-gang Madinah dan jalan-jalannya masih ramai oleh
orang-orang yang berlalu-lalang karena mereka hampir saja akan
melaksanakan shalat isya’.
Akan tetapi tidak seorangpun dari orang-orang yang dia lewati
mengenalnya, tidak ada yang memperdulikannya, tidak melihat kudanya yang
kurus dan tidak melihat pedangnya yang menggelayut di pundaknya.
Penduduk kota-kota Islam telah terbiasa melihat pemandangan para
mujahidin yang hendak berangkat menuju peperangan di jalan Allah atau
kembali darinya.
Akan tetapi hal itulah yang justeru menimbulkan kesedihan dan rasa cemas di hati pejuang ini.
Tatkala pejuang ini hanyut dalam alam pikirannya, sembari terus
berjalan mencari rumahnya di gang-gang yang sudah banyak berubah itu,
tiba-tiba dia mendapati dirinya sudah berada di depan rumahnya.
Kebetulan dia dapati pintunya terbuka sehingga saking gembiranya, dia
lupa meminta izin dulu kepada penghuninya. Dia langsung menyelonong
masuk hingga sampai ke bagian dalam.
Pemilik rumah mendengar suara pintu, lalu dia melongok dari lantai
atas. Ternyata di bawah benderang sinar rembulan, dia melihat seorang
laki-laki yang menghunus pedang dan menggantungkan tombaknya sedang
memasuki rumahnya di malam hari.
Waktu itu istrinya yang masih muda berdiri tidak jauh dari incaran mata orang asing itu.
Melihat gelagat itu, pemilik rumah langsung marah dan segera turun tanpa alas kaki seraya berkata,
“Apakah anda ingin sembunyi di balik kegelapan wahai musuh Allah dan merampok rumahku serta menyerang istriku?!”
Lalu dengan seketika, dia menyerang orang tersebut bak harimau yang
ingin mempertahankan sarangnya jika ada yang ingin mengganggunya dan
tidak memberikan kesempatan lagi kepadanya untuk berbicara.
Akhirnya, masing-masing saling baku hantam sehingga suasana gaduh
semakin seru dan suaranya semakin mengencang. Karenanya, para tetangga
berhamburan menuju ke rumah itu dari segala penjuru. Lalu mereka
mengurung orang asing ini ibarat lingkaran borgol di tangan dan membantu
tetangga mereka untuk menghadapinya.
Lantas pemilik rumah mencengkeram leher orang asing itu dan
mengencangkan cengkeramannya seraya berkata,“Demi Allah aku tidak akan
melepaskanmu -wahai musuh Allah- kecuali nanti di samping gubernur.”
Maka orang itu berkata, “Aku bukan musuh Allah dan tidak melakukan
dosa apa-apa.! Ini adalah rumahku dan budakku, aku mendapati pintunya
terbuka lalu aku memasukinya.”
Kemudian orang asing itu menoleh ke arah khalayak sembari berkata,
“Wahai hadirin, tolong dengarkan aku. Rumah ini adalah rumahku yang aku
beli dengan hartaku. Wahai hadirin, aku ini adalah farrukh. Apakah tidak
ada seorang tetanggapun yang masih mengenali Farrukh yang pergi sejak
tiga puluh tahun lalu untuk berjihad di jalan Allah?!.”
Waktu itu ibu pemilik rumah ini sedang tidur lalu terbangun karena
mendengar keributan. Dia melongok dari jendela lantai atas dan melihat
yang ternyata benar-benar suaminya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Hampir-hampir saja saking terkejutnya, lisannya tak dapat berbicara,
untunglah tak berapa lama kemudian dia dapat mengatasinya seraya
berkata,
“Biarkan dia, biarkan dia! wahai Rabi’ah! Biarkan dia, wahai anakku.
Sesungguhnya dia itu adalah ayahmu. Wahai hadirin, pergilah kalian
semua, semoga Allah memberkati kalian.”
“Berhati-hatilah, wahai Abu Abdurrahman.! Sesungguhnya orang yang engkau hadapi itu adalah anak dan belahan hatimu sendiri.”
Begitu ucapannya menyentuh telinganya, maka Farrukhpun segera menyongsong Rabi’ah, merengkuh dan memeluknya.
Sedangkan Rabi’ah, langsung menyongsong Farrukh lalu mencium kedua tangannya, lehernya dan kepalanya.Dan orang-orang pun bubar…
Ummu Rabi’ah turun untuk memberi salam kepada suaminya yang
sebelumnya dia tidak mengira akan bertemu dengannya di tanah ini setelah
beritanya terputus selama hampir sepertiga abad.
Farrukh duduk di sebelah istrinya dan mulai bercerita tentang
pengalamannya serta menyampaikan sebab terputusnya berita tentang
dirinya tersebut.
Akan tetapi Ummu Rabi’ah tidak begitu memperhatikan omongannya. Rasa
takut akan amarah suaminya karena telah menyia-nyiakan harta yang telah
dititipkannya padanya telah memperkeruh kegembiraannya bertemu dengannya
dan pertemuannya dengan anaknya.
Dalam hati dia berkata, “Kalau dia menanyaiku sekarang tentang sekian
banyak uang yang dititipkannya padaku sebagai amanat, yang waktu itu
dia berpesan agar aku membelanjakannya di jalan yang ma’ruf (baik), apa
yang harus kujawab? Apa kira-kira reaksinya andai aku beritahu bahwa
tidak ada sepeserpun yang tersisa? Apakah dia akan percaya bila aku
katakan bahwa semua hartanya yang dia tinggalkan itu telah aku gunakan
untuk biaya pendidikan dan pengajaran anaknya? Apakah mungkin biaya
seorang anak bisa mencapai 30.000 dinar? Apakah dia akan percaya bahwa
tangan sang anak lebih mulia daripada awan yang menurunkan hujan dan
bahwa dia tidak menyisakan sepeser dinar atau dirham-pun untuk dirinya?
Apakah dia akan percaya bahwa semua orang di Madinah ini pasti tahu
bahwa anaknya itu telah menginfakkan beribu-ribu uang untuk
rekan-rekannya?.”
Pada saat Ummu Rabi’ah tenggelam dalam lamunannya ini, suaminya
menoleh kepadanya seraya berkata,“Sekarang aku bawa lagi untukmu, wahai
Ummu Rabi’ah sebanyak empat ribu dinar. Maka tolong perlihatkan uang
yang dulu aku titipkan padamu supaya kita kalkulasi dengan yang ini,
lalu harta kita semuanya itu kita belikan sebuah kebun atau real estate
sehingga dari omsetnya kita bisa hidup selama hayat dikandung badan.”
Ummu Rabi’ah pura-pura menyibukkan diri dan tidak memberikan jawaban sedikitpun.
Lalu suaminya mengulang permintaannya kembali sembari berkata,“Ayo,
mana harta itu supaya aku gabungkan dengan yang ada di tanganku ini?”
Lalu Ummu Rabi’ah berkata,“Aku telah menyimpannya di tempat yang
layak dan akan aku berikan padamu beberapa hari lagi, insya Allah.”
Untunglah, suara adzan memutus perbincangan keduanya.
Lalu Farrukh bergegas mengambil kendi dan berwudlu.Kemudian cepat-cepat menuju pintu dan berteriak, “Di mana Rabi’ah.?”
Mereka menjawab, “Dia telah mendahuluimu ke masjid sejak adzan
pertama, dan kami kira kamu tidak akan mendapatkan shalat jama’ah.”
Farrukh sampai di masjid, dan mendapati imam baru saja selesai dari
shalat. Dia kemudian melakukan shalat wajib, lalu menuju kuburan yang
mulia untuk mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW, kemudian beranjak
ke Raudhah yang suci, karena hatinya masih rindu untuk melakukan shalat
di sana.
Dia memilih suatu tempat di hamparannya yang sejuk dan melakukan
shalat sunnah semampunya di sana, kemudian berdo’a kepada Allah.
Dan ketika ingin meninggalkan masjid, dia menemukan ruangannya yang
luas telah disesaki majlis ilmu yang belum pernah dia saksikan sebanyak
itu sebelumnya.
Dia melihat orang-orang telah melingkar di sekeliling Syaikh, satu
demi satu hingga tidak ada lagi tempat menginjakkan kaki di lokasi itu,
lalu dia mengarahkan pandangannya ke arah orang-orang, ternyata di sana
banyak sekali syaikh-syaikh yang memakai syal dan sudah tua-tua,
orang-orang terhormat yang dari gerak-gerik mereka menunjukkan bahwa
mereka orang-orang penting (berpangkat) dan para pemuda yang banyak
sekali sedang bersimpuh di atas lutut mereka sembari mengambil pena
dengan tangan untuk menulis apa saja yang dikatakan Syaikh tersebut
layaknya permata-permata yang diperebutkan. Lalu menyimpan tulisan itu
di dalam buku catatan mereka sebagaimana halnya benda-benda berharga
disimpan.
Orang-orang mengarahkan pandangan mereka ke arah di mana syaikh
duduk, mendengarkan penuh khidmat setiap ucapan yang keluar hingga
seakan-akan di atas kepala mereka ada burung yang bertengger. Para
petugas penyampaian (Muballigh) menyampaikan apa yang diucapkan syaikh,
paragraf demi paragraf sehingga sekalipun seseorang jauh tempatnya,
tidak akan ketinggalan satu patah katapun.
Dalam pada itu, Farrukh berusaha memasati (mengamati dengan jelas)
wajah si syaikh tersebut namun tidak berhasil karena tempatnya yang
jauh.
Penjelasannya yang cemerlang, ilmunya yang mumpuni dan ingatannya
yang luar biasa membuatnya tertawan, terlebih lagi dengan pemandangan
orang-orang yang begitu tunduk di hadapannya. Tidak berapa lama,
syaikhpun menutup majlis pengajiannya dan bangkit berdiri. Maka,
serta-merta orang-orang menyongsong ke arahnya, berdesak-desakan,
melingkarinya dan berdorong-dorong mengikuti dari belakangnya guna
mengantarnya hingga ke luar arena masjid.
Ketika itulah, Farrukh menoleh ke arah orang yang duduk di sebelahnya
tadi seraya berkata,“Tolong katakan kepadaku –atas nama Rabbmu- siapa
syaikh itu?.”
“Bukankah anda ini berasal dari Madinah.?” Jawab orang itu dengan penuh keheranan.
“Benar.” Kata Farrukh
“Apakah ada orang yang tidak mengenal syaikh di Madinah ini?.” kata orang itu lagi
“Ma’afkan aku, bila aku tidak begitu mengenalnya. Sudah sekitar 30
tahun aku habiskan waktu jauh dari kota Madinah ini dan baru kemarin aku
kembali.” Kata Farrukh lagi
“Kalau begitu, nggak apa-apa. Mari duduk bersamaku sebentar, biar aku ceritakan tentang syaikh ini.”
Orang itu melanjutkan,“Syaikh yang anda nikmati pengajiannya tadi itu
adalah salah seorang pemuka Tabi’in dan tokoh kaum Muslimin. Dia lah
Ahli hadits kota Madinah ini, Faqih berikut Imamnya sekalipun usianya
masih belia.”
“Masya Allah, La Quwwata Illa Billah.” Jawab Farrukh
orang tadi meneruskan,“Sebagaimana yang anda lihat, majlis
pengajiannya juga dijubeli oleh Mâlik bin Anas, Abu Hanîfah (keduanya
adalah imam madzhab terkenal), Yahya bin Sa’îd al-Anshâry, Sufyân
ats-Tsaury, ‘Abdurrahmân bin ‘Amr al-Awzâ’iy, al-Laits dan banyak lagi
yang lainnya.”
“Tetapi kamu…” celetuk Farrukh
Namun orang itu tidak memberikannya kesempatan untuk melanjutkan
ucapannya tersebut dan langsung melanjutkan,“Di atas semua itu, dia
adalah seorang tuan, yang mulia pekertinya dan rendah diri lagi dicintai
orang serta dermawan. Penduduk Madinah ini tidak pernah mengenal orang
yang lebih dermawan darinya baik terhadap teman ataupun anak teman…tidak
ada yang lebih zuhud darinya terhadap glamour duniawi serta tidak ada
yang lebih besar cintanya terhadap anugerah Allah selainnya.”
“Tapi kamu belum juga menyebutkan kepadaku, siapa namanya!.” Komentar Farrukh
“Dia adalah Rabi’ah ar-Ra`yi.” Jawab orang itu
“Rabi’ah ar-Ra`yi?!” kata Farrukh“Ya, namanya Rabi’ah… akan tetapi
para ulama dan syaikh Madinah ini memanggilnya dengan Rabi’ah ar-Ra`yi
karena bila mereka tidak mendapatkan satu nashpun dari suatu masalah
baik di dalam Kitabullah ataupun hadits Rasulullah, pasti merujuk
kepadanya, lantas dia berijtihad dengan ra`yi (pendapat)nya sendiri
dalam hal itu. Dia analogkan masalah yang tidak terdapat nashnya itu
terhadap masalah yang ada nashnya, lalu memberikan putusan terhadap
masalah yang dirasakan rumit oleh mereka tersebut; sebuah putusan yang
berkenan di hati.” Kata orang itu melanjutkan
“Tapi kamu belum menyebutkan siapa ayahnya kepadaku.!” Kata Farrukh memelas
“Dia lah Rabi’ah bin Farrukh, yang dijuluki dengan Abu ‘Abdirrahman.
Dia dilahirkan setelah ayahnya itu meninggalkan Madinah ini untuk tujuan
berjihad di jalan Allah sehingga ibunya lah yang kemudian mengurusi
pendidikan dan pertumbuhannya. Aku sudah mendengar menjelang waktu
shalat ini masuk tadi, ada orang-orang mengatakan bahwa ayahnya sudah
kembali malam tadi.” Kata orang itu
Ketika itulah, dua tetes besar air mata Farrukh mengalir dari kedua
matanya sehingga membuat orang tadi tidak mengetahui apa gerangan
sebabnya.
Dia kemudian bergegas melangkahkan kakinya menuju rumahnya. Tatkala
Ummu Rabi’ah melihatnya berlinangkan air mata, dia menanyakan,“Ada apa
denganmu, wahai Rabi’ah?.”
“Ah, Aku baik-baik saja. Aku tadi telah melihat betapa anak kita
sudah mencapai kedudukan ilmu, kehormatan dan kemuliaan yang tidak
pernah dimiliki oleh orang-orang sebelumnya.” Jawabnya
UmmU Rabi’ah kemudian tidak menyia-nyiakan kesempatan ini seraya berkata,
“Kalau begitu; mana yang lebih kau cintai: 30.000 dinar atau martabat ilmu dan kehormatan yang telah dicapai anakmu ini?.”
“Demi Allah, malah inilah yang lebih aku cintai dan lebih aku dahulukan ketimbang seluruh harta dunia ini.”
“Sebenarnya, semua yang engkau titipkan padaku itu telah aku habiskan untuk membiayainya.” Kata Ummu Rabi’ah meyakinkan
“Ya, terimakasih, semoga engkau, dia dan kaum Muslimin mendapatkan balasan dariku dengan sebaik-baik balasan.” Ucapnya
Sumber: (Tadzkirah al-Huffâzh, I:148, Hilyah al-Awliyâ`, III:259,
Sifah ash-Shafwah, II:83, Dzayl al-Muzîl, h.101, Târîkh Baghdâd,
VIII:420, At-Tâjj, X:141, Wafayât al-A’yân, I:138, Târîkh ath-Thabariy)
Sumber : http://ahlulhadiits.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar